Blogger Themes

SELAMAT DATANG DI BLOG SANGMANETA TORAYA

Senin, 28 Februari 2011

DPRD TANA TORAJA AKAN SEGERA MILIKI MOBIL BARU


Dalam waktu dekat pimpinan Komisi DPRD Tana Toraja akan menikmati fasilitas baru, 3 unit mobil baru yang akan segera di tenderkan akan dimiliki oleh masing-masing pimpinan Komisi, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh sangmaneta bahwa mobil baru tersebut telah dianggarkan dalam APBD Tana Toraja Rp. 200.000.000,/unit,

KOPEL Tana Toraja Adukan Anggota DPRD ke BK


Makale - Komite Pemantau Legislatif Tana Toraja resmi mengadukan seorang anggota DPRD Tana Toraja yang menjadi terpidana kasus korupsi MT Allorerung ke Badan Kehormatan melalui pimpinan DPRD. Keseriusan Kopel ini untuk mendorong terciptanya DPRD yang amanah, bersih dari KKN.
Pengaduan ini juga sebagai tindak lanjut dari desakan Kopel selama ini, baik melalui media maupun saat audiens langsung dengan pimpinan dewan. Hanya saja, desakan itu ternyata kurang ditanggapi serius oleh pimpinan DPRD. Hal ini terbukti dengan tidak adanya upaya yang dilakukan DPRD terhadap yang bersangkutan. Pengaduaan yang dituangkan dalam surat Kopel tertanggal 23 Februari 2011, dengan nomor surat  27/B/KOPEL-TATOR/II/201. Tidak mendapat tanggapan serius dari pimpinan DPRD Tana Toraja.

Menurut Koordinator Kopel wilayah Toraja, bahwa dalam UU No. 27/2009, PP 16/2010 dan Tatib DPRD, salah satu syarat untuk menjadi anggota DPRD adalah bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Selain itu, dalam aturan yang mengatur tentang DPRD juga ditegaskan bahwa anggota DPRD dilarang meninggalkan kewajibannya sebagai anggota DPRD. Apabila larangan ini dilanggar maka anggota tersebut dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam UU. 
Selain melanggaran, yang bersangkutan juga dinilai telah merugikan masyarakat Tata Toraja terutama Dapil III Sanggalla’, Sanggalla’ Utara, Sangalla’ Selatan, Mengkendek dan Gandang Batu Sillanan. Ini karena wakil mereka tidak dapat lagi menyampaikan aspirasinya masyarakat yang diwakilinya

“Dengan pelanggaran yang dilakukannya itu, maka pimpinan DPRD harusnya melakukan tindakan nyata (PAW) demi mewujudkan DPRD yang bersih dari korupsi," tegas Muhammad Jafar, Koordinator Kopel Indonesia wilayah Toraja. Untuk diketahui hingga Saat ini mantan Pimpinan DPRD Tana Toraja yang kembali terpilih pada Pemilahan lalu masih mendekam di Rutan Makale karena tersangkut kasus korupsi. (B/Jakfar.Kopel Toraja)

Membangun Harapan di Tahun Baru 2011

Barangkali tidak berlebihan kalau ada ungkapan ‘harapan adalah awal dari segalanya’ karena sepertinya memang hidup dan kehidupan ini dibangun di atas batu bata harapan. Tumpukan batu bata yang tersusun menjadi cita-cita dan impian tentang hari esok yang lebih baik. Dari sinilah kemudian sesungguhnya peradaban itu dimulai. Dari segumpal harap yang tumbuh dan berkembang menjadi bongkahan impian dan kemudian melahirkan berbagai bentuk bangunan peradaban yang menjadikan hidup lebih hidup.
Dengan demikian, peradaban manusia seperti yang kita lihat saat ini tak kan pernah ada, kalau manusia itu sendiri tidak pernah memiliki harapan. Kita tak kan pernah bertemu dengan kemajuan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan seperti sekarang, misalnya, andai manusia, pelaku sains dan teknologi itu, tak berani membuat impian. Dalam konteks ini wajar kalau ada yang mengatakan bahwa kita harus berani bermimpi, karena hidup seringkali bermula dari sebuah impian.
Adalah suatu hal yang tak bisa dibantah bahwa harapan adalah sumber energi kehidupan yang karenanya hidup itu bisa bergerak dan berproduksi. Kalau tidak, maka kita, para penghuni kolong langit ini, tak lebih dari ‘mayat hidup’, manusia yang secara fisik masih bisa bergerak, namun ruhnya tak lagi bisa menggerakkan kehidupan. Mereka yang tak lagi mampu berharap dalam hidupnya adalah mereka yang kemudian tak mampu memahami hakekat dan memainkan peran kehidupannya sebagai manusia secara utuh.
Dalam banyak penggalan kehidupan, barangkali cukup sering kita bisa merasakan betapa dahsyatnya kekuatan harapan ini. Betapa kita pernah merasakan bahwa ada energi yang mengalir deras dalam diri kita tatkala kita sudah mampu membangun harapan. Sebaliknya, betapa kemudian kita berubah menjadi seorang yang tak berdaya, ketika kita tergoda untuk membunuh dan mengubur harapan itu dalam hidup kita.

Bangunan Harapan

Pertanyaannya, apa seharusnya yang menjadi motivator utama bagi kita tatkala mulai membangun harapan itu? Jawabannya barangkali bisa kita lihat dari banyak kisah para sahabat dalam perjalanan hidup.
Pendeknya, membangun harapan sepertinya adalah suatu hal yang perlu kita lakukan secara sadar dan terencana. Karena hidup hanya sekali, maka penting bagi kita untuk menulis naskah (harapan) kehidupan kita. Baik harapan sebagai seorang individu, sebagai anggota masyarakat, Karena pentingnya harapan ini dalam semua dimensi kehidupan kita.
Yah, sekali lagi, harapan memang bukan segalanya, tapi dia adalah awal dari segalanya. Maka oleh sebab itu, kita tak boleh berhenti untuk berharap. Kita tak boleh kehilangan keyakinan bahwa hasil yang kita dapatkan sesungguhnya berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan. Dan salah satu usaha itu adalah memantapkan fondasi bangunan harapan kita.
Dan menyambut tahun baru 2011 ini, adalah saat yang tepat bagi kita untuk kembali menata (ulang) bangunan harapan itu. Secara umum tentu kita harus berharap bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Kita harus berani menatap masa depan kita dengan kepala tegak dan wajah penuh optimisme, sekalipun pada saat yang sama, kita dan bangsa besar kita masih belum juga keluar dari perangkap berbagai permasalahannya. Sekali lagi, kita harus yakin bahwa ‘badai pasti berlalu’, kalau kita semua bergerak secara sungguh-sungguh untuk menghalau badai itu.
Namun demikian, tentu perlu juga diingat bahwa keputusan Allah-lah yang berlaku di atas semua harapan itu. Keyakinan seperti ini juga penting, agar kita tidak terjebak menjadi seseorang yang kecewa berat tatkala harapan kita tak sesuai dengan kenyataan. Tak kala hasil yang kita peroleh tak seindah rencana bangunan harapan kita. Oleh karenanya, kita mesti menutup ungkapan harapan kita dengan kata-kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Kita hanya bisa berencana (dan berusaha), pada akhirnya Tuhan la yang menentukan segalanya.

Jumat, 25 Februari 2011

GEREJA DIMANAKA ENGKAU?

Power tends to Corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Kekuasaan cenderung untuk korup; kekuasaan yang absolut pula akan korup secara absolut
(Lord Action sejarawan Ingris)

I.       Pengantar
Walaupun politik mendapat stigma kotor dan dianggap  penuh dosa, namun warga gereja dan gereja yang diutus Tuhan tidak bisa tidak memiliki keterkaitan dengan sistem duniawi ini. Titik singgung gereja dan warga gereja dengan dunia politik di sini sudah mentradisi dan legitim. Meski demikian hingga saat ini masih banyak yang mengangap politik adalah hal yang kotor, politik sering dilihat sebagai dua dunia yang berbeda atau bahkan bertentangan. Yang satu dianggap  “suci”, yang lain “kotor” dan “berdosa”. Yang satu “sorgawi”, yang lain “duniawi”. Tidak saling bertemu. Saut Sirait dalam menjawab persoalan yang demikian mengatakan bahwa, penolakan itu dapat terjadi disebabkan kecenderungan umum untuk menjauhkan diri dari dunia dan otomatis tidak mau mencampuri urusan politik.
Sesungguhnya gereja ditempatkan oleh Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial politik, ekonomi dan budaya tertentu. Gereja dipanggil dan ditempatkan oleh Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya di tengah bangsa dan negara yang diyakini sebagai anugerah dari Tuhan. Kehadiran gereja merupakan tanda pengutusan Tuhan agar gereja  secara aktif mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Gereja terpanggil secara aktif dan kreatif mengambil bagian dalam usaha mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan harkat dan martabat manusia.
Baiklah, sebelum kita membahas tentang apa dan bagaimana peran gereja  dalam dunia politik, maka pertama-tama kita perluh menelaah terlebih dahulu sebenarnya apa itu gereja, dan apa itu politik mengapa mesti kedua hal tersebut di atas hingga saat ini masih kerap dipersolkan oleh banyak orang?.


II.    Gereja dan Politik  
a.      Gereja  
Kata gereja berasal dari bahasa Portugis “igreya”, yang artinya kawan domba, yang dikumpulkan oleh seorang gembala.[1] Kata “gereja” dalam bahasa-bahasa lainnya ialah misalnya kerk (Belanda), churc (Inggris), Kirche (Jerman). Kata itu munkin sekali berasal dari kata Yunani “Kuriake’ artinya “yang adalah milik Kurios”. Kurios Ialah Tuhan (Allah, Yesus).[2]
Dalam Perjanjian Baru istila gereja dipergunakan kata Yunani “ekklesia” yang berasal dari kata ek dan kaleo yang artinya “memanggil keluar” atau dipanggil dari antara orang banyak. Selanjutnya dalam Pejanjian Baru juga, istila eklesia secara umum menunjuk kepada gereja, walaupun dalam beberapa bagian, kata eklesia sekedar sering ditafsirkan sebagai keluar dari sekumpulan orang-orang” ada kemungkinan bahwa orang-orang Kristen awal mengambil istila “gereja” sebagai sinonim terdekat dari kata sinagoge yang diambil dari kata sun dan ago yang berarti datang dan berkumpul bersama-sama.[3]
Dengan demikian kata ekklesia menunjuk pada arti sekumpulan orang-orang yang mengaku menjadi milik Kristus dan hidup berdasarkan pola hidup Yesus sebagai Kepala Gereja, sebagaimana surat-surat Paulus kepada jemaat Efesus dan Kolose (bnd. Ef. 1, 3, 5 dan Kol. 1). Pada bagian lain Alkitab, gereja sebagai sekelompok orang beriman yang dikumpulkan oleh Kristus, lahir pada hari pentakosta ketika Roh Kudus dicurahkan. Sejak itu Kristus memanggil dan mengumpulkan orang percaya untuk dijadikan jemaat atau gereja (Kis.2). Oleh karena itu, kepada mereka diperintahakan untuk pergi menjadikan segala bangsa murid Yesus dan mengajar mereka untuk melakukan segala sesuatu yang telah diperintahkan Kristus kepada mereka (Mat,28).
b.      Politik
Secara etimologi politik berasal dari kata yunani polistaia, polis berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/ berdiri (negara)” sedangkan taia berarti ”urusan”.[4] Kata ini berkembang menjadi ”politici” artinya warga negara, ”politeia” artinya hak-hak warga negara ”politike” artinya segala apa yang bertalian dengan polis. Secara liguistik politik berarti pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistim pemerintahan, ketatanegaraan), segala urusan dan tindakan (mengenai kebijakan, siasat) mengenai pemerintahan  atau terhadap negara lain. Singkatnya  dapat dikatakan politik sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempersoalkan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebikajaksanaan dan pembagian atau alokasi.
  • Politik dalam arti kepentingan umum (Politics)
Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan negara maupun di daerah, lasim disebut politics yang artinya adalah: ”suatu rangkaian azas/prinsip,  keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu “atau” suatu keadaan yang kita kehendaki, disertai dengan jalan/ cara dan alat yang akan kita gunakan untuk memcapai keadaan yang akan kita inginkan.

  • Politik dalam arti Kebijaksanaan
Politik dalam arti kebijaksanaan (policy) adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita, keinginan atau keadaan yang kita kehendaki, jadi politik dalam artian ini adalah tindakan dari satu individu atau sekelompok individu mengenai suatu masalah atau keseluruhan masalah dari masyarakat atau negara.

III.  Partisipasi Gereja Dalam Politik  (Keadilan, Perdamaian, Kesejahteraan)
Proses demokratisasi yang terus bergulir dari sentralistik ke-desentralistik ditandai dengan perberlakuan UU No. 32/2004 menggantikan UU No. 22/1999 telah mendorong berlangsungnya lokalisasi politik secara meluas dan menyebar ke seluruh daerah-daerah, seiring dengan itu kekuasaan politik juga semakin terdistribusikan secara nyata ke daerah-daerah, yang tentunya memberi ruang baru terhadap dinamika politik pada aras lokal, kenyataan yang terjadi adalah, bahwa pemberlakuan UU tersebut justru kemudian membuka peluang bagi terjadinya desentralisasi oligarki politik tingkat lokal. Bahwa para elit cenderung dominan menguasai arena percaturan politik lokal akibat pengaruh mereka yang kuat di berbagai tempat. Dengan berbagai strategi mereka mendominasi kekuasaan, nyaris tanpa kontol dari masyarakat, masyarakat hanya kemudian menjadi penonton, hal ini semakin diperumit ketika menguatnya politik identitas, maraknya korupsi, meningkatnya masalah kemiskinan, dan pengangguran, semakin maraknya praktek-praktek kekerasan, dan berbagai strategi terselubung lainnya telah menciptakan situasi dan arena politik lokal yang semakin memprihatinkan.  
Eforia reformasi sejak tahun 1998, semakain memberi ruang terhadap  kepada siapa saja untuk terlibat dalam dunia politik, banyak tokoh-tokoh kristen yang bermunculan menduduki kursi legislatif yang kemudian menyebut dirinya sebagai wakil rakyat hampir semua adalah warga gereja, tentu ini tidaklah terlalu baru, namun yang baru adalah munculnya para politisi ini lebih disebabkan kerena kran reformasi yang memberi peluang kepada siapun  untuk terlibat dalam politik praktis, termasuk salah satunya dengan mendirikan partai politik yang berlabel kristiani yang meskipun pada sebelumnya mereka tidak concern terhadap politik praktis. Suatu hal yang menarik dari kondisi tersebut adalah bahwa para politisi tersebut pada umumnya pemain baru dengan metode rekruitmen yang tidak profesional dari sebuah partai baru. Sehingga benar apa yang pernah dikatakan oleh Zakaria J. Ngelow (teolog kristen) bahwa, Sadar atau tidak  mereka hanya sekedar dieksploitasi oleh partai-partai politik demi perolehan suara tentunya bersumber dari warga gereja dan pada gilirannya sang pendeta/caleg lainnya menggunakan haknya untuk menarik simpati warga jemaatnya, dengan demikian gereja hanya dijadikan sebagai kendaraan politik demi sebuah perolehan kekuasaan.
Wacana politik seperti inilah harusnya disikapi oleh gereja secara pro-aktif tentunya dengan memberikan pedoman, acuan bagi warga yang ingin terlibat dalam politik praktis, berbagai teori dan wacana sapaan pastoral dari mombar gereja tidaklah cukup bagi tataran akar rumput untuk menjadi pedoman dalam memerankan tanggung jawab sosialnya, dalam hal inilah gereja  perluh memberi perhatian dan menanggapi momentum reformasi tersebut sebagai entry point perwujudan demokrasi sejati bagi masyarakat.
Dunia politik saat ini (reformasi) memperlihatkan kepada kita betapa kekuasaan menjadi tawaran yang menggiurkan dan menjadi pusat perhatian bagi semua organisasi politik, termasuk politisi kristen akibatnya, politik menjadi arena untuk mempertaruhkan kepentingan kelompok dan pribadi serta untuk mendapatkan pengakuan. Politik praktis tidak pernah mempersoalkan apakah cara-cara yanh dipakai sehat atau tidak, tidak lagi mempersoalkan apaka cara yang dipakai telah menista kemanusiaan atau tidak, yang penting dari semua itu adalah bagaimana tujuan dan kekuasaan itu dapat dipertahankan, (homo homini lupus). Politik tidak lagi dilihat sebagai sebagai seni untuk mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dan mengupayakan kesejahteraan bersama serta keadilan. Persoalan kemudian,  mengapa Tana Toraja sampai saat ini tak kunjung lepas dari berbagai tindakan seperti yang saya kemukakan di atas?, berbagai persoalan-persoalan yang terus mengemuka seperti politik uang semakin membuktikan betapa peran politik kekuasan masih sangat mendominasi percaturan politik Tana Toraja.
Di tengah-tengah tumpulnya kepekaan terhadap hati nurani, dan mati surinya moral akibat kekuasaan Gereja tidak mampu, atau enggan? untuk berbuat sesuatu, gereja- gereja kini sebagai pilar moral-spiritual bahkan terkesan larut didalamnya meski secara samar-samar dalam berbagai bentuk, misalnya tim kampanye salah satu kandidat dll, sangat menyedihkan hati kalau gereja yang seharus bisa berbuat hal-hal untuk mencapai keadilan, kesejahtraan justru terkesan apatis. Misi gereja adalah menghadirikan syalom-kedamain bagi semua orang, namun tampaknya ini hanya akan menjadi mimpi, gereja mestinya hadir dan bepengapa dengan berbagai kehidupan umatnya yang semakin memprihatinkan, gereja tidak perluh terjebak dalam simbiosis-mutualisme dengan berbagai kepentingan-kepentingan sesaat, karena akan berbuntut pada pemenadulan daya kristis gereja sebagai instrumen kontrol terhadap pemerintah, (lihat misalnya seorang pejabat harus menjadi ketua panita pembangunan mega proyek, atau seorang pejabat yang jauh disana menjadi ketua panitia ivent bertarap nasional). Entah sadar atau tidak semuanya ini membawa kita pada pertanyaan yang singkat apakah gereja masih memegang semagat reformasi gereja yang diawalai oleh Mr. Calvin, bukanka gereja kristen protestan lahir dan berkembang berawal dari gugatan atas perselingkuhan yang sangat mesra  antara gereja dan penguasa (negara) di abad-abad pertengahan?, saya takut, kita justru sekarang hampir terjebak dalam teoligi kemkmuran,  atauka mental dan paradigma berteologi gereja kita yang sudah cenderung mengarah ke teologi sukses?. Gereja akhirnya menjadi seolah manusia yang punya keinginan terlalu tinggi; ingin itu dan ingin ini dan lain-lain, padahal dana tidak cukup. Hasilnya, adalah ketergantungan dan pengadaian idealisme singkatnya gereja mengalamii kebuntuan dalam mewujudkan syalom.
Selain persoalan di atas, kecenderunagan lain yang dilakukan gereja-gereja dewasa ini adalah lebih banyak memberi perhatian pada ibadat-ibadat yang bersifat formalistik, Gereja-gereja dalam praksis saat ini tidak lebih dari sekedar penonton dan seolah tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditunaikan dalam pelayanan sosialnya, gereja tidak berdaya, dalam menghadapi tirani kekuasaan, sehingga belenggu penindasan yang terstruktur semakin mendepak gereja dari pusat kepinggiran. Gereja hampir-hampir tidak mempunyai tempat dan peran dalam mengambil keputusan politis, memberi rekomendasi pemikiran terhadap pembuanguna daerah, tentunya segala yang dilakukan gereja tersebut  harus dimaknai sebagai sarana perwujudan misi bukan persoalan keterlibatan gereja dalam politik praktis. Gereja tidak membutuhkan itu, karena gereja tidak memiliki ambisi kekuasaan, hal ini dilakukan semata-mata karena tanggungjawab gereja untuk memperhatikan dunia sebagai milik Allah dengan segala persolan yang muncul di dalamnya.
Kenyataan yang terjadi  adalah malah sebaliknya gereja sibuk dengan dirinya sendiri, gereja tidak lagi sepenuhnya memberi perhatian pada persoalan praksis kehidupan sosial. Kenyataan ini semakin memperjelas bahwa gereja hanya mengkonsentrasikan dirinya pada “dosa” dan bagaimana manusia ditebus dari dosa, sementra persoalan manusia yang konkrit dan terpaksa berdosa karena persoalan kehidupan sosial yang kadang terabaikan oleh teologi gereja.
Karena itu, Secara serius dapat dikatakan bahwa sikap gereja-gereja dewasa ini  menjadi semakin tidak jelas, gereja  tidak memiliki sedikitpun tenaga untuk berbuat memperbaiki sistim yang tidak berpihak lantaran gereja mengalami ketakutan untuk mengatakan yang benar, mengkritik korupsi dan penyalagunaan jabatan, dan berbagai skandal politik lainnya yang bersifat kepentingan pribadi.
Persoalan penting yang dihadapi gereja adalah mengapa gereja menjadi “pasif”?,  kita (baca: gereja) merasa diri terlalu kecil untuk berbuat dan tidak memiliki daya untuk merubah keadaan yang ruyam disekitar kita, kita terlalu kecil untuk mengubah sesuatu yang besar dihadapan kita, padahal kita besar untuk sesuatu yang besar pula, sementara yang lain masih tetap memandang politik adalah satu yang tabu bagi gereja.  Sebagai konsekwensi logis dari itu kita  harus mengatakan bahwa sekecil apapun persoalan yang terjadi saat ini Gereja-gereja ikut andil didalamnya,  gereja-gereja tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu apa-apa?.
Gereja telah terjebak dalam sekularisme-materialisme, sehingga gereja hanya membangun gedung dan peralatan ibadah, yang terbangun bukanlah persekutuan antar manusia percaya yang bertobat melainkan gedung ibadah yang semakin tinggi dan di atasnya terpampang salib yang begitu menarik, namun semangat salib belumlah sepenuhnya dimiliki oleh anggotanya.[5] Jika tidak lebih ekstrim lagi Gereja juga dapat terkena dampak dari apa yang disebut dengan hedonisme-rohani, yakni ketika gereja terlena dalam perkara-perkara seremonial yang dianggap menciptakan kesenangan jiwa tetapi mengabaikan lingkungan.[6] Kemunculan teologi kemakmuran menambah faktor pemicu terhadap hal ini.  Gereja sangat lemah dalam memberikan pelayanan yang bersifat holistik bagi dunia disekitarnya. Gereja menjadi perkumpulan kaum eksklusif dan jauh dari masyarakat, pada hal gereja ada di dalam masyarakat itu sendiri yang mestinya harus berbuat untuk masyarakat tersebut.

II.    Peran Gereja  mewujudkan Demokrasi Tana  Toraja
Semua  penyataan yang saya kemukanan di atas tidak dalam arti mau menghakimi gereja terhadap posisi dan peran yang telah dilakonkan sekarang ini, dalam menyikapi perubahan yang terus menerus berlangsung khususnya dalam bidang politik, tetapi tulisan ini mencoba untuk melihat dan menyelami secara realistis atas relita dimana gereja hadir dan sudah dipastikan ikut ambil bagian didalamnya.
Tentu kita tidak ingin gereja terus-menerus larut dalam persoalan seperti yang saya kemukakan di atas, kita ingin bahwa bahwa gereja-gereja mampu memberi warna tersendiri,  mampu menjadi garam yang asin dalam kehadirannya di bumi, gereja harus bebuat sesuatu untuk merubah suasana yang ruyam, karena itu gereja peluh untuk intropeksi diri terhadap kehadirannya di masyarakat selama ini.
Gerakan reformasi yang dilancarkan terus-menerus baik dari dalam maupun dari luar gereja diharapkan mampu memberikan semangat perjuangan dalam perubahan posisi gereja berhadapan dengan dunia politik, gereja diharapkan mampu memberikan kontribusi tidak semata sapaan pastoral kepada umatnya, melainkan gereja diharapkan bisa memberikan kontribusi yang berarti dan bisa mendampingi para politikus dalam mengubah praktik-praktik politik menjadi sesuai dengan etika politik. Perubahan dalam arti perbaikan terus-menerus dalam sistem politik dan pelaku politik diyakini mampu menjadi sarana mencapai kesejahteraan umum.
Dalam posisi ini, koridor moral yang dijaga oleh gereja dimaknai sebagai jembatan yang menghubungkan hukum dan keseimbangan sosial politik di tengah struktur masyarakat. Dalam upaya tersebut memerlukan syarat nyata seperti meningkatkan pendidikan politik warga, kesadaran hukum, perbaikan taraf hidup dan perbaikan sistem Pemilu secara terus menerus. Reformasi gereja diharapkan mampu mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga kepentingan politik lainnya, dimana pertarungan kekuatan wacana atau konflik kepentingan harus dilihat dari kacamata etika, dalam hal ini melindungi warga terhadap praktik dominasi.
Pemilu legislatif dan Presiden telah usai, Beberapa pekan kedepan kita kembali akan disuguhkan dengan Pemilu lima tahunan yakni pemilihan Kepala Daerah sebagai pengejawantahan hak dan kedualatan rakyat, tentu kita menyimpan banyak harapan terhadap momentum tersebut, perbaikan taraf hidup masyrakat, pembukaan lapangan kerja, menjadikan Toraja sebagai daerah identik dengan budaya dan kekristenannya dll, semua adalah merupakan pekerjaan yang harus ditunaikan oleh semua orang,  kita tidak ingin lagi gereja hanya sekedar penonton yang larut dalam teriakan sporter  pemain, dan kita tidak ingin lagi gereja justru menjadi bagian didalamnya.
Posisi  gereja dalam hal ini menjadi penting ketika gereja mampu menumbuhkan gerakan-gerakan sosial dan organisasi-organisasi sosial lintas agama dengan memberdayakan masyarakat untuk memperkuat civil society. ranah civil society akan tumbuh dengan subur jika hubungan individu– kelompok diatur dalam semangat subsidiaritas. Tolak ukur dari keberhasilan prinsip ini adalah warga akan terpenuhi hak-hak dasarnya, seperti dibidang hukum, sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan menguatnya basis akar rumput melalui gerakan sosial, diharapkan mampu memberikan perbaikan sistem politik pemerintahan, dan  juga mampu mendorong pemerataan kesejahteraan. Pengembangan ranah civil society[7] terbuka luas bagi gereja, pembenahan sistem pendidikan dari banyak lembaga yang berada di bawah naungan gereja bisa menjadi pintu masuk untuk mendiseminasikan semangat kemajemukan, demokrasi, toleransi, dll.

III. Merekonstruksi Peran Sosial Politik Gereja  
Memang harus jujur diakui bahwa gereja harus merevisi tugas dan panggilannya di tengah masyarakat, tetapi juga sudah saatnya gereja harus “bertobat” dan lebih peka terhadap persoalan sosial kemasyarakatan,  dan ikut ambil bahagian didalamnya, tetapi sekaligus gereja tidak boleh kehilangan indentitas dan kredibilitasnya  sebagai gereja yang adalah milik Allah sendiri. Sebagai sebuah gereja yang adalah milik Allah sendiri yang ditempatkan ditengah masyarakat  hendaknya gereja  terlebih dahulu tampil kedepan mencermati masalah yang muncul baik yang beresifat nasional terlebih yang menyangkut hayat hidup masayrakat atau jemaatnya.
Dalam kondisi, yang demikian peran serta kontribusi pemikiran politik gereja sangat dibutuhkan, gereja tidak mesti membiarkan keadaan disekitarnya cenderung mengahancurkan masyarakat dan menyelepelehkan moral agama. Gereja harus ikut dalam mengkritisi secara rasional dan kreatif produk-produk pemerintah yang telah meninggalkan nilai-nilai moral kristiani, gereja harus mendorong bekerjanya suatu proses pilitik yang bekerja sesuai dengan nilai-nilai kristiani, gereja memang perluh menjalin hubungan dengan pemerintah dan berkoordinasi dengan permerintah jika itu karena demi perjuangan kesejahtaraan rakyat. Gerejapun tak perluh kemana-mana tetapi berada dimana-mana, dengan demikian misi gereja dalam dunia politik yakni memperjuangkan suara kenabian akan menjadi nampak.
Tugas gereja adalah secara terus menerus mendampingi warganya untuk memperoleh haknya, megadakan pendidikan politik kerakyatan (Civic education) agar umat dapat memilih secara baik dan dan benar tanpa harus menjual haknya. Gereja harus memilih apa yang harus diperjuangkan dan diterjemahkan dalam kehidupan politik masyarakat. Gereja ada dunia, tetapi gereja bukan dari dunia,[8]  kerena gereja hidup dan tinggal di dunia (masyarakat) maka gereja adalah bahagian integral dari sebuah masyarakat.
Dalam pembinaan iman warga tersebut, gereja menghadapi banyak pergumulan. Pergumulan ini mencakup segala bidang kemasyarakatan antara lain: Pertama, sebab anggota gereja adalah juga  anggota masyarakat, maka persoalan dalam masyarakat dapat mengganggu stabilitas gereja, demikian pula sebaliknya. Kedua, Pergumulan dalam masyarakat harus turut serta memikirkan persoalan-persoalan tersebut agar dapat mencari jalan keluar atau penyelesaiannya. Karena kebutuhan ini, maka gereja seyogianya memiliki hubungan yang harmonis dengan seluruh komponen dalam masyarakat.

Referensi
  • Deddy Ismatulla, S.H.,M.Hum., Asep A. Sahid Gatara Fh, M. Si, Ilmu Negara dalam Multi Prespektif Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
  • Dr. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas 2003,
  • J. Verkuyl  Etika Kristen: Ras, bangsa, Gereja dan Negara, Jakarta: BPK Gunung Mulaia, Cetakan keenam. tanpa tahun
  • LEMHANAS, Kewiraan untuk Mahasiswa, Jakarta: 1985.
  • Mirriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia 1989,
  • Poltak YP. Sibarani, Bolehka Gereja Berpolitk, Jakarta : Ramos Gospel Publising House, tahun 2005
  • Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia, Suatu tinjauan etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.


[1] J. Verkuyl, Aku Percaya Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 200

[2] Ibid. hlm. 200.

[3] Ibid, hlm. 200

[4] LEMHANAS, Kewiraan untuk Mahasiswa, Jakarta: 1985. hlm 128

[5] Poltak YP. Sibarani, Bolehka gereja berpolitik, Jakarta : Ramos Gospel Publising House, 2005, hlm. 34

[6] Ibid hlm. 34

[7] Sivil Society muncul dalam hubungan  dialektik antara negara dan masyarakat, khususnya dimana demokrasi merupakan tatanan politik ideal. Civil Society diharapkan menjadi basis bagi kedaulatan rakyat yang benar ada ditangan rakyat dalam bentuk aspirasi yang muncul dan berkembang sehat dari bawah, yang kemudian disalurkan melalui berbagai prananta dan kelembagaannya dan selanjutnya  dilaksanakan sebagai mandat yang tetap terbuka bagi pengawasan.  

[8] Ungkapan ini dinyatakan dalam rangkaian doa-doa Yesus yang terdapat dalam Yohanes 17. Cukup banyak teolog Kristen yang mencoba menjelaskan ungkapan ini salah satunya J.Verkuyl dalam bukunya Etika Kristen: Ras, bangsa, Gereja dan Negara, Jakarta: BPK Gunung Mulia